Oleh : Anggiet Arifianto
Ada dua hal penting yang harus dilakukan: persiapkan diri, dan persiapkan orang lain.
1. Persiapan diri yang matang
Persiapan diri ini tidak hanya sebatas membuat data barang yang harus dimasukkan ke dalam koper, tapi juga harus paham bagaimana budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, keberadaan masyarakat Indonesia di sana, penginapan hari-hari pertama dimana, iklim dst. Sebelum berangkat harus sudah punya daftar kegiatan yang akan dilakukan, alamat2 yg hrs dituju, mesti lapor diri di uni kapan, dst
Sekolah di luar negeri itu bukan cuma untuk menambah ilmu, tetapi juga menyelami bagaimana kehidupan di negeri sana. Jadi kalau sekolah di luar, jangan cuma berkumpul dengan sesama orang Indonesia tapi berinteraksilah dengan masyarakat lokal, mengasah kemampuan berbahasa asing dan menyelami serba serbi masyarakat setempat. Itu adalah bagian dari pelajaran beasiswa, bagian dari proses pembelajaran. Dari banyak mengamati, diskusi dan berinteraksi, kita akan belajar banyak hal yang tidak akan kita dapat dari textbook. Jangan lupa banyak jalan-jalan, mumpung sudah sampai sana. Menabung memang perlu, tapi jangan kelewatan.
Perhatikan betul budaya setempat. Salah satu kebiasaan mahasiswa Indonesia yang sangat mengganggu saya adalah kebiasaan 'numpang makan'. Kalau ada acara kumpul-kumpul datang terlambat, makan langsung pulang. Etika tinggal di luar itu kalau ada acara makan, bawalah makanan untuk dimakan bersama dan karena di luar tidak ada yang punya pembantu, ikut beres-beres setelah acara selesai adalah wajib hukumnya. Acara makan-makan di luar negeri jangan dijadikan ajang perbaikan gizi tapi lebih kea rah silaturahmi.
2. Persiapan keluarga yang akan dibawa/ditinggal
Kalau mau bawa keluarga, persiapkan betul mental mereka juga. Saya banyak mengamati tingginya stress pada anak, baik jika anak dibawa bersekolah ataupun ditinggal di rumah. Anak ternyata banyak merasa tersisihkan dalam proses pindah, karena merasa tidak diajak kompromi, merasa terenggut dari dunia yang dia kenal dan ditempatkan di tempat asing, kemudian dia akan mengalami stress kedua saat harus kembali ke Indonesia. Ketika anak ditinggal, ia akan merasa terbuang, bahwa orang tuanya tidak mencintainya ketika mereka pergi sekolah. Memberikan pemahaman pada anak sering butuh waktu yang panjang (hal yang sama juga berlaku untuk orang tua). Jangankan manusia, anjing saya pun stress kalau lihat saya mulai mengisi koper karena artinya ia akan ditinggal dan jadi super manja, tidak mau makan, cari perhatian dst.
Kalau mau bawa pasangan, ini juga tidak selalu pilihan yang tepat. Biasanya kalau suami yang membawa istri tidak masalah karena istri biasanya lebih pasrah dan mendukung suami. Biasanya suami-suami ini mengalami masalah makan karena banyak yang tidak bisa masak dan baru membaik saat istrinya tiba. Sayangnya kebalikannya tidak selalu sama. Saya banyak jadi tempat curhat istri-istri bete dengan suaminya yang mereka tenteng ke luar negeri. Sayangnya memang masyarakat kita masih sangat chauvinist. Ternyata suami-suami yang jadi pengangguran di luar negeri sering frustrasi karena bosan tidak melakukan apa-apa, banyak yang tidak bisa komunikasi dengan masyarakat luar. Banyak istri-istri mengeluh karena setelah suami tiba pekerjaan bertambah, capek sekolah seharian, sampai di rumah masih harus masak, beres-beres rumah dst. Meskipun banyak juga yang suaminya berubah jadi pinter urus anak, pinter masak dst. Saran saya kalau mau bawa pasangan, lihat baik-baik karakter pasangannya, kalau tipe yang bikin repot, lebih baik ditinggal saja di rumah. Atau ikuti yang saya lakukan: Jangan menikah kalau masih suka keluyuran keluar negeri.
Ada dua hal penting yang harus dilakukan: persiapkan diri, dan persiapkan orang lain.
1. Persiapan diri yang matang
Persiapan diri ini tidak hanya sebatas membuat data barang yang harus dimasukkan ke dalam koper, tapi juga harus paham bagaimana budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, keberadaan masyarakat Indonesia di sana, penginapan hari-hari pertama dimana, iklim dst. Sebelum berangkat harus sudah punya daftar kegiatan yang akan dilakukan, alamat2 yg hrs dituju, mesti lapor diri di uni kapan, dst
Sekolah di luar negeri itu bukan cuma untuk menambah ilmu, tetapi juga menyelami bagaimana kehidupan di negeri sana. Jadi kalau sekolah di luar, jangan cuma berkumpul dengan sesama orang Indonesia tapi berinteraksilah dengan masyarakat lokal, mengasah kemampuan berbahasa asing dan menyelami serba serbi masyarakat setempat. Itu adalah bagian dari pelajaran beasiswa, bagian dari proses pembelajaran. Dari banyak mengamati, diskusi dan berinteraksi, kita akan belajar banyak hal yang tidak akan kita dapat dari textbook. Jangan lupa banyak jalan-jalan, mumpung sudah sampai sana. Menabung memang perlu, tapi jangan kelewatan.
Perhatikan betul budaya setempat. Salah satu kebiasaan mahasiswa Indonesia yang sangat mengganggu saya adalah kebiasaan 'numpang makan'. Kalau ada acara kumpul-kumpul datang terlambat, makan langsung pulang. Etika tinggal di luar itu kalau ada acara makan, bawalah makanan untuk dimakan bersama dan karena di luar tidak ada yang punya pembantu, ikut beres-beres setelah acara selesai adalah wajib hukumnya. Acara makan-makan di luar negeri jangan dijadikan ajang perbaikan gizi tapi lebih kea rah silaturahmi.
2. Persiapan keluarga yang akan dibawa/ditinggal
Kalau mau bawa keluarga, persiapkan betul mental mereka juga. Saya banyak mengamati tingginya stress pada anak, baik jika anak dibawa bersekolah ataupun ditinggal di rumah. Anak ternyata banyak merasa tersisihkan dalam proses pindah, karena merasa tidak diajak kompromi, merasa terenggut dari dunia yang dia kenal dan ditempatkan di tempat asing, kemudian dia akan mengalami stress kedua saat harus kembali ke Indonesia. Ketika anak ditinggal, ia akan merasa terbuang, bahwa orang tuanya tidak mencintainya ketika mereka pergi sekolah. Memberikan pemahaman pada anak sering butuh waktu yang panjang (hal yang sama juga berlaku untuk orang tua). Jangankan manusia, anjing saya pun stress kalau lihat saya mulai mengisi koper karena artinya ia akan ditinggal dan jadi super manja, tidak mau makan, cari perhatian dst.
Kalau mau bawa pasangan, ini juga tidak selalu pilihan yang tepat. Biasanya kalau suami yang membawa istri tidak masalah karena istri biasanya lebih pasrah dan mendukung suami. Biasanya suami-suami ini mengalami masalah makan karena banyak yang tidak bisa masak dan baru membaik saat istrinya tiba. Sayangnya kebalikannya tidak selalu sama. Saya banyak jadi tempat curhat istri-istri bete dengan suaminya yang mereka tenteng ke luar negeri. Sayangnya memang masyarakat kita masih sangat chauvinist. Ternyata suami-suami yang jadi pengangguran di luar negeri sering frustrasi karena bosan tidak melakukan apa-apa, banyak yang tidak bisa komunikasi dengan masyarakat luar. Banyak istri-istri mengeluh karena setelah suami tiba pekerjaan bertambah, capek sekolah seharian, sampai di rumah masih harus masak, beres-beres rumah dst. Meskipun banyak juga yang suaminya berubah jadi pinter urus anak, pinter masak dst. Saran saya kalau mau bawa pasangan, lihat baik-baik karakter pasangannya, kalau tipe yang bikin repot, lebih baik ditinggal saja di rumah. Atau ikuti yang saya lakukan: Jangan menikah kalau masih suka keluyuran keluar negeri.